KRISIS
MONETER YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA
DISUSUN :
ENAS KRISPA LORA (27211805)
SITI SARAH (26211830)
WIJI TRI CAHYANI (27211395)
KELAS : 1EB22
KELOMPOK : 13
KALIMALANG
MARET 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Moneter adalah
instrument yang digunakan pemerintah untuk mengatur jumlah mata uang yang
beredar dan menentukan suku bunga yang berlaku.
Krisis yang melanda bangsa
Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang
melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya.
Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai
tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang
kurang berkembang di negara ini.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh
dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah,
perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang
besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi
banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah
menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan
tersebut. Level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang
pada saat harga mata uang lokal meningkat.
IMF datang dengan paket bantuan 23
milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang
perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa
Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Meskipun krisis
rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika
efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang
meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan
oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu:
menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi
rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di
negara ini.
II.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini saya membahas sebuah
masalah yaitu :
1. Apa penyebab krisis moneter di
Indonesia
2. Hal-hal apakah yang terjadi pada saat krisis moneter?
3. Apa dampak dari krisis moneter pada perekonomian indonesia?
Tujuan Penulisan
Dimana dalam tujuan penulisan tugas ini adalah sebagai penunjang nilai dalam mata kuliah PEREKONOMIAN INDONESIA. Selain itu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 serta penyebab terjadi nya krisis moneter.
Dimana dalam tujuan penulisan tugas ini adalah sebagai penunjang nilai dalam mata kuliah PEREKONOMIAN INDONESIA. Selain itu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 serta penyebab terjadi nya krisis moneter.
BAB
II
PEMBAHASAN
KRISIS MONETER 1997-1998
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, telah berlangsung hampir
dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan
ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah
pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi
seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang
dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran
di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (melihat data World Bank: Bab 2 dan
Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus
meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah
masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat
beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku
dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak
efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri
dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan
terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga
IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh
perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat
besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama
bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang
mengancam.
INDIKATOR
UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$ juta)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3.24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2.96
|
-6.76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17,972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10.78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$
juta)
|
8,661
|
9,868
|
11,611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2.11
|
2.2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp. milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1.852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998.
Sebagai konsekuensi dari krisis
moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan
membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim
managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan
demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing
untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh
kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan
tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir
Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000
awal Mei 1999.
A. Hal-hal yang terjadi saat krisis
moneter.
1.
Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam.
2.
Faktor utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar
rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk
membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistem perbankan
nasional yang melemah.
3.
Krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret-Juni 1997, yang
diserang duluan oleh spekulan dan kemudian menyebar ke Negara Asia lainnya
termasuk Indonesia. Krisis Moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di
kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.
4.
Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan
sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih
menjadi masalah perbankan dalam negeri.
5.
Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik.
Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat
rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim
Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos)
yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian
modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis
lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi
semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level
semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk
Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).
6.
Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang
kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari
apresiasi nilai tukar efektif riil, defisit neraca pembayaran dan pelarian modal.
B. Dampak krisis ekonomi pada
perekonomian Indonesia.
Berbagai
dampak Krisis Moneter timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa dampak yang
kurang baik bagi Indonesia, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas,
khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan
masyarakat dalam rupiah tetap. Dampak yang terlihat seperti : Banyak perusahaan
yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para
pekerjanya. Sehingga menambah angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan
menutup APBN. Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat
kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan
pokoknya. Utang luar negeri dalam rupiah melonjak. Harga BBM naik.
Kemiskinan
juga termasuk dampak krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga miskin
di perkirakan sekitar 7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak
terlepas dari jatuhnya nilai mata uang rupiah yang tajam, yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik
sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang
tinggi.
Disaat
krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi
pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada
perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu
menambah beban utang Negara.
Pada
sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah
juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam. Sebaliknya arus
masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan
tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan
merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian.
Dampak
dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu
di karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat.
Berikut ini 4
Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1.
Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya
berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini
diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung
mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan
sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu
ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik
lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable).
Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah
sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung,
barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang
serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan
hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998).
Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda
krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban
dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena
kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki
surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki
sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang
swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi
lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa
negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan”
yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly
and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony
capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset
tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau
untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win
tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous
circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan
meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet
and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity)
hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi,
rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang
Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu
tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua,
dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam
sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut,
masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan
dalam negeri.
Ketika liberalisasi
sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme
pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga,
sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis
bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik
politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak
pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum
krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia
selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun
kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya
siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis
di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif
tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang
keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal
yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas
sosial-politik
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia
kebanyakan merupakan kiriman dari negara lain dan bukan berasal dari
dalam negeri.
2. Inflasi juga merupakan salah satu faktor
terjadinya krisis tersebut.
3.
Dampak yang di timbulkan berbagai macam dan dampak tersebut kebanyakan membawa
pengaruh kurang baik terhadap Perekonomian Indonesia.
4. Krisis moneter berpengaruh langsung ke
rakyat.
Saran
1.
Pemerintah seharusnya mencari solusi yang baik untuk menyelesaikan krisis
tersebut.
2.
Pemerintah Negara juga seharusnya mengurangi utang luar negeri.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA